PKLH adalah suatu program kependudukan untuk membina anak didik memiliki pengetahuan, kesadaran, sikap, dan perilaku yang rasional serta bertanggung jawab tentang pengaruh timbal balik antara penduduk dengan lingkungan hidup dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Pengenalan program Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup (PKLH) yang di Indonesia sudah dirintis sejak tahun 1981 yaitu ditandai dengan dibukanya jurusan Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup, pada Pasca Sarjana, Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Jakarta. Yang sekaligus merupakan bentuk respon sektor pendidikan terhadap deklarasi PBB ini sehingga semua insan pembangunan sebagai lulusan sekolah memiliki etika lingkungan. Implementasi program PKLH di sekolah (SD, SLTP, SMU) secara implisit sudah diperkenalkan melalui kurikulum 1984. Setelah sekitar 15 tahun diperkenalkan di sekolah, hasil yang dicapai belum menggembirakan. Realita sehari-hari menunjukkan hampir semua lulusan sekolah belum menampilkan kinerja “ramah lingkungan”. Secara hipotetik dapat dikatakan, program PKLH jalur sekolah “belum jalan”. Dengan logika ini, perlu dilakukan ‘pembenahan’ pada ‘tubuh’ PKLH jalur sekolah. Setelah itu, perlu dirancang dan dibuat kemasan baru program PKLH, baik dari ‘kemasan konsepsi’ maupun dari ‘kemasan implementasi’.
Pembahasan kebijakan baru tentang PKLH
ini perlu diawali dengan mengkaji hakekat kurikulum dan hakekat PKLH
serta hakekat lingkungan hidup. Dari kajian ini baru dirumuskan tentang
suplemen kurikulum PKLH sebagai kebijakan baru penyelenggaraan PKLH di
sekolah. Selain itu, makna pengembangan kurkulum perlu dikaji sebelum
mengkaji pengembangan kurikulum PKLH.
Pada awalnya, Pendidikan Kependudukan
terpisah dengan Pendidikan Lingkungan. Namun, karena banyak memiliki
kesamaan terutama memiliki sasaran yang sama yaitu untuk meningkatkan
kualitas kehidupan umat manusia dengan pendekatan yang sama yaitu: multi
disiplin, maka Pendidikan Kependudukan dan Pendidikan Lingkungan
digabungkan menjadi PKLH.
Dari lokakrya UNESCO Bangkok tentang
kependudukan dan lingkungan pada tahun 1970 disepakati batasan
pendidikan kependudukan sebagai ‘suatu program kependidikan yang
menyediakan kajian tentang situasi kependudukan dalam keluarga,
masyarakat, bangsa dan dunia, dengan maksud untuk mengembangkan sikap
dan perilaku yang rasional dan bertanggung jawab terhadap situasi
kependudukan yang dihadapi.
Sedangkan Otto Soemarwoto (1997)
mendefinisikan lingkungan hidup sebagai ruang yang ditempati suatu
makhluk hidup bersama dengan benda hidup dan benda tak hidup. Sementara
itu, menurut Nothern Illionis University, pendidikan lingkungan hidup
adalah proses mereorganisasi nilai dan memperjelas konsep-konsep untuk
membina keterampilan dan sikap yang diperlukan untuk memahami dan
menghargai antarhubungan manusia, kebudayaan, dan lingkungan fisiknya.
Dari batasan ini tersirat makna bahwa sasaran PKLH berdimensi tidak
hanya pemahaman (kognitif) manfaat perlunya keseimbangan/keselarasan
hubungan antara manusia, hewan, tumbuhan, dan benda tak hidup yang ada
di bumi, tetapi juga menyentuh dan malah lebih penting yaitu dengan
peningkatan sikap dan nilai positif terhadap permasalahan kependudukan
dan lingkungan, sehingga mendorong peserta didik melakukan beberapa aksi
dalam bentuk perbuatan langsung.
Peluang Penyajian Pendidikan Lingkungan
Hidup Program PKLH di SD, SLTP, dan SMU tidak disajikan sebagai mata
pelajaran yang berdiri sendiri. Beberapa pertimbangan yang melandasi
pemikiran ini antara lain:
- Jumlah mata pelajaran yang ada di SD, SLTP, dan SMU sudah terlalu banyak sehingga kalau jumlahnya ditambah akan mempengaruhi beban belajar siswa. Kalau ini dipaksakan, tentu akan mengganggu perkembangan kognitif dan apresiasi siswa terhadap pelajaran.
- Pada dasarnya beberapa mata pelajaran yang ada sudah memiliki muatan PKLH terutama mata pelajaran yang berorientasi pada sasaran moral seperti mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan dan mata pelajaran Pendidikan Agama. Kedua mata pelajaran ini dapat dimuati dengan unsur pendidikan lingkungan hidup yang berdimensi moral dan nilai. Beberapa mata pelajaran lain yang erat kaitannya dengan Pendidikan Lingkungan Hidup adalah kelompok mata pelajaran IPA: Fisika, Biologi, Kimia, juga kelompok mata pelajaran IPS: Geografi, Ekonomi, dan Sosiologi, juga mata pelajaran Bahasa Indonesia.
- Sasaran PKLH adalah kinerja lulusan yang peduli terhadap lingkungan dan yang senantiasa menjaga keseimbangan/keselarasan hubungan mahluk hidup dan lingkungannya. Ini berarti, selama sasaran ini dapat diwujudkan memang tidak perlu mengenalkan mata pelajaran baru yang akan menambah beban pelajaran bagi peserta didik, yang mungkin akan menjadi kontra produktif pada sasaran pendidikan.
- Pendekatan PKLH lebih cocok dengan pendekatan multi-disiplin dengan memanfaatkan beberapa konsep dari beberapa mata pelajaran.
- Perubahan kurikulum dengan menambah mata pelajaran baru akan memberi dampak pada semua komponen pendidikan, yang akhirnya dapat dipolitisir oleh oknum-oknum tertentu untuk kepentingan pribadi/kelompok tertentu dan sebaliknya dapat merugikan dunia pendidikan.
Dengan alasan ini dan dengan tetap
mengikuti konstelasi kurikulum yang sedang berlaku, rasanya sekarang
belum waktunya untuk mengenalkan mata pelajaran PKLH secara terpisah.
Karakteristik lulusan yang berperilaku dengan wawasan lingkungan dapat
dibentuk melalui pemberdayaan mata pelajaran yang sudah ada.
Tapi sebagai pemerhati dan pendekar
lingkungan tidak dengan begitu saja kita pasrah dengan sistem kurikulum
yang berlaku, tetapi bagaimana berusaha untuk mengintegrasikan program
dan materi-materi yang berkenaan dengan PKLH pada mata pelajaran yang
diakui dalam kurikulum yang berlaku, pengintegrasian ini harus
diusahakan mulai dari jenjang pendidikan yang paling rendah hingga
jenjang pendidikan tertinggi supaya tertanam dalam diri masing-masing
peserta didik setelah mempelajari PKLH yaitu mempunyai pengertian,
kesadaran, sikap dan perilaku yang rasional terhadap hubungan manusia
dengan lingkungan hidup.
Dalam lingkungan sekolah diperlukan
kreatifikas seorang guru untuk mengembangkan sikap peduli siswa terhadap
lingkungan dengan tidak membuang limbah domestik secara sembarangan,
guru perlu memberikan contoh, misalnya, selalu memegang kulit
pisang/kulit rambutan sebelum menemukan tempat sampah. Guru perlu
menyediakan lingkungan yang kondusif seperti menyediakan tempat sampah,
tempat cuci tangan, kamoceng di kelas/sekolah. Selain itu, setiap
kegiatan pembelajaran selalu diselipkan kegiatan yang mengkondisikan
siswa untuk membuang sampah pada tempatnya, atau melatih siswa untuk
memilah sampah organik dengan sampah non organik dan selanjutnya sampah
non organik dimasukkan pada tempat khusus yang sudah disediakan.
Guru dapat juga berdiskusi dengan guru
lain untuk merencanakan kegiatan proyek dengan melibatkan beberapa guru
mata pelajaran untuk menyoroti satu tema khusus. Misalnya, tema
pencemaran air tanah dapat diangkat untuk kegiatan pembelajaran program
satu semester beberapa mata pelajaran. Guru IPA (Kimia) dapat menyoroti
unsur kimia yang sudah mencemari air tanah sedangkan guru Geografi dapat
menyajikan unsur pencemaran dengan menampilkannya dalam beragam grafik.
Guru PPKn di SLTP mungkin dapat
menyajikan kegiatan diskusi studi kasus dengan simulasi di suatu wilayah
kecamatan yang air tanahnya tercemar oleh limbah industri perusahaan
tekstil. Beberapa lurah mengusulkan untuk menutup perusahaan tersebut
tetapi beberapa lurah yang lain mengusulkan untuk tetap mempertahankan
perusahaan itu karena perusahaan itu sering memberikan sumbangan untuk
kegiatan umum. Ada juga beberapa lurah yang mengusulkan perusahaan itu
dipindahkan supaya air tanah tidak tercemar. Kasus ini mungkin kasus
rekaan yang mungkin terjadi di masyarakat. Kegiatan diskusi kasus ini
akan lebih baik kalau guru dapat mengangkat kasus riil pencemaran yang
terjadi di daerahnya.
Pada kondisi ini peserta didik diberi
beragam pengalaman belajar seperti diskusi kelas, diskusi kasus dalam
situasi simulasi, melakukan percobaan, wawancara, melakukan kegiatan
sosial untuk membersihkan lingkungan. Dari kegiatan-kegiatan inilah akan
melahirkan pendekar-pendekar lingkungan hidup yang selalu berusaha
melestarikan lingkungan sekitarnya.
Dari kajian tentang Esensi pengenalan
dan/atau pemberdayaan program PKLH di jenjang pendidikan dasar dan
menengah hingga perguruan tinggi yang kajiannya diawali dengan
terjadinya kerusakan lingkungan dari waktu ke waktu akibat ulah manusia
termasuk meningkatnya angka pertumbuhan penduduk, lalu dilanjutkan
dengan perlunya program PKLH baik melalui pendidikan formal maupun
melalui pendidikan informal, dan pada bagian akhir dilanjutkan dengan
cara mengemaskan kegiatan pembelajaran program PKLH yang multi-dimensi:
kognitif, sikap, perilaku, keterampilan di jalur pendidikan sekolah.
Salah satu gebrakan baru yang dilakukan
oleh PEMERINTAH Kota Bandung, dalam hal ini Dinas Pendidikan Kota
Bandung, yang telah berketetapan untuk menjadikan Pendidikan Lingkungan
Hidup (PLH) sebagai muatan lokal (mulok) di sekolah-sekolah di Kota
Bandung. Berbagai pendapat pun lantas merebak, seperti biasa, yaitu ada
yang pro dan kontra. Terlepas dari pro-kontra itu, seberapa pentingkah
PLH bagi murid khususnya yang tinggal di Kota Bandung ? (Gede H. Cahyana
: http://gedehace.blogspot.com)
Terlepas apakah PKLH tidak harus
dimasukkan dalam kurikulum atau harus dimasukkan dalam kurikulum
misalnya seperti yang dilakukan oleh pemerintah Bandung yang menjadikan
PLH sebagai muatan lokal, tapi yang terpenting adalah penekanan taraf
signifikansi PKLH yaitu pada porsi praktis-teoretisnya. Pelaksanaan PKLH
ini hendaklah tidak berkutat di ranah teoretis. Jika hanya teoretis,
hasilnya takkan terasa dan seolah-olah murid-murid berbilang ilmu
lingkungan, tetapi perilakunya tak berubah. Jangan sampai PKLH ini
sekadar penambah beban belajar siswa. Apalagi ada banyak pendapat kontra
bahwa tak perlulah PKLH lantaran murid sudah dianggap memperolehnya
dari pelajaran yang lain.
Tak dapat dipungkiri bahwa ada pelajaran
yang membahas secara implisit soal lingkungan. Tetapi patut pula diakui
bahwa kupasannya tidak menyentuh unsur utama lingkungan, yaitu
pelestarian fungsi atau sustainability dan cederung menjadi
lekatan dan tempelan belaka. Efeknya tidak tampak pada perubahan
perilaku guru-gurunya apalagi murid-muridnya.
Oleh sebab itu, PKLH harus
dititikberatkan pada sisi afektif – psikomotorik sehingga siswa tak
hanya memiliki ilmu tetapi juga mampu mengubah perilakunya. Mampu
“melebur” dengan lingkungannya. Misalnya, siswa melihat bagaimana proses
polusi air dan apa dampaknya bagi kesehatan, lalu tahu cara mencegah
dan mengolah polusi itu menjadi air yang tak tercemar. Ketika melihat
sampah, yang ada di dalam benaknya ialah sumber daya baru yang bahkan
mampu menghasilkan uang. Air limbah pun dijadikan potensi pupuk buatan
atau didaur ulang menjadi air minum lagi. Pendeknya, PKLH harus
mendekatkan guru dan muridnya kepada lingkungan dan menjadi bagian dari
solusi, bukan sang penimbul masalah.
Materi PKLH itu pun hendaklah dibatasi
agar tak terlalu meluas sehingga menjadi persoalan biologi dan
mengaburkan masalah lingkungan yang erat dengan kehidupan sehari-hari.
Sebab, telah dipahami bersama bahwa lingkungan itu sangat luas dan semua
orang bisa bicara soal lingkungan sesuai dengan persepsi dan latar
belakang ilmunya. Kalau tidak dibatasi atau tidak didefinisikan sejak
awal, wacana ini akan meluas dan di luar kendali sehingga tujuan PKLH
menjadi tidak fokus atau bahkan difus (menyimpang jauh) sehingga tidak
praktis dan tidak aplikatif.
Makanya definisi atau “pagar-pagar”-nya
harus sudah dibuat terlebih dulu agar PKLH berhasil menjadi pendidikan
lingkungan yang erat dengan kehidupan praktis keseharian guru dan murid.
Misalnya berkaitan dengan air minum, air limbah, sampah, polusi udara,
kesehatan, penyakit menular lewat air, udara, makanan, tanah, dll. Juga
upaya sanitasi dan kesehatan lingkungan yang wajib diketahui pada
tingkat dasar dan tindakan preventif-kuratif apa saja yang mesti diambil
dalam suatu kasus penyakit tertentu misalnya. Inilah PKLH yang
implementatif dan berpeluang membentuk perilaku guru dan murid yang
berkarib dengan lingkungan, environmentaly friendly, sehingga tak sekadar berwawasan lingkungan.
PKLH ini hendaklah dilaksanakan secara
bergradasi, mulai dari kelas satu SD sampai kelas tiga SMA. Tentu saja
harus ada perluasan materi yang diberikan meskipun pokoknya tetap sama.
Misalnya, bahasan tentang air. Di kelas satu dan dua yang perlu
diberikan hanya sebatas beda air jernih, air bersih, dan air limbah atau
air kotor. Di kelas yang lebih tinggi, mulai dikenalkan pada parameter
kualitasnya secara sambil lalu. Di kelas yang lebih tinggi lagi bisa
dikenalkan pada teknologi tradisional-konvensional, selanjutnya masuk ke
teknologi madya hingga ke teknologi lanjut. Begitu pun yang berkaitan
dengan sampah, udara, kesehatan lingkungan, dll.
Yang juga penting adalah rasio waktu
belajarnya. Belajar tak hanya di kelas, tetapi juga di lapangan.
Misalnya, pergi ke sungai, ke kolam, ke waduk, atau ke tanah lapang
sambil melihat-lihat selokan. Siswa langsung melaksanakan pengamatan
lapangan. Mereka pasti senang bereksperimen dan mengeksplorasi kemampuan
dirinya di alam bebas. Itu sebabnya, pembagian 30% teori dan 70%
praktik menjadi jalan tengah. Guru dan murid akan lebih banyak belajar
di luar kelas dan berdiskusi. Guru harus betul-betul siap pada semua
kemungkinan pertanyaan yang muncul dan jangan marah apabila belum bisa
memberikan penjelasan yang logis dan berterima. Artinya, guru harus
terus belajar dan belajar terus.
Bagaimana hasilnya? Tentu saja tak bisa
instan. Hasilnya baru akan tampak setelah sekian tahun kemudian dan ini
membutuhkan proses, butuh waktu untuk pembentukan perilakunya, yaitu
perilaku manusia cinta lingkungan, manusia yang peduli pada pembangunan
berkawan lingkungan. Istilah umumnya adalah pembangunan berwawasan
lingkungan (sustainable development). (Source : K’ Masni, Mahasiswa Pasca Sarjana PKLH UNM Makassar | Guru Biologi SMAN 1 Bone-Bone Kab. Luwu Utara, Sulsel)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar