Mantan Presiden RI BJ Habibie berencana menghidupkan kembali pesawat
N250 yang sempat dipensiunkan oleh Pemerintah RI pada tahun 1998, akibat
tekanan IMF. “N250 is still the best” ujar Habibie di Jakarta,
20/8/2012. Pesawat tersebut akan terbang dalam lima tahun ke depan
dengan perubahan rancangan pesawat yang serba digital. “Kami akan mendesain ulang pesawat, salah satunya mesin. Ini perlu karena ada gap teknologi kurang lebih 20 tahunan,” ujar Habibie.
N-250 adalah pesawat regional turboprop rancangan asli IPTN,
Indonesia. Pesawat ini primadona IPTN dalam usaha merebut pasar di kelas
50-70 penumpang, dengan keunggulan yang dimiliki di kelasnya, saat
diluncurkan tahun 1995.
Rencana menghidupkan kembali N-250 muncul setelah berdirinya PT Regio
Aviasi Industri (RAI), kerjasama PT Ilthabi Rekatama milik putra sulung
Habibie, Ilham Akbar Habibie, pemegang saham 51% dan PT Eagle Capital
milik Erry Firmansyah pemegang saham 49%. BJ Habibie menjadi Ketua Dewan
Komisaris di perusahaan tersebut.
Proyek menghidupkan kembali N250 pun dimulai. Pada tanggal 11/08/2012
dilakukan penandatanganan proyek pengembalian dan penyelesaian pesawat
N250. Habibie menargetkan pesawat N250 mendapatkan sertifikat Federal
Aviation Administration (FAA) dalam lima tahun ke depan.
Peluang pasar N250 di Indonesia memang masih besar. Saat ini, Wings
Air terus memesan pesawat sejenis N250 yakni ATR-72. Begitu pula dengan
Merpati yang memilih pesawat China MA-60. Pesawat jenis ini dibutuhkan
untuk penerbangan di pelosok Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Sumatera,
Nusa Tenggara. Selain Indonesia, negara kawasan Asia Tenggara juga
membutuhkan pesawat jenis ini.
BJ Habibie berencana mengajak sejumlah eks karyawan IPTN yang tersebar
di berbagai negara, untuk merintis industri pembuatan pesawat milik
swasta itu. “Mereka kepingin pulang,” kata Presiden Republik
Indonesia ketiga ini. Habibie juga ingin melibatkan Kemenristek, BPPT,
PT DI dan lainnya dalam kerjasama dengan PT RAI.
Tentu Pak Habibie yang malang melintang di dunia penerbangan, memiliki rencana besar untuk pengembangan PT RAI.
Setelah merampungkan N250 dengan teknologi yang jauh lebih canggih,
kemungkinan Habibie akan menghidupkan kembali proyek N2130 bersaing
dengan: Boeing, Airbus, Embrair, Bombardier dan Sukhoi Super Jet.
Perusahaan ini tidak mudah lagi ditekan oleh dunia Internasional,
seperti halnya IPTN dulu, selaku BUMN.
Hikmah Munculnya PT RAI
Ketika proyek pesawat N250 dihentikan oleh pemerintah, para insinyur
IPTN berpencar ke seluruh dunia, termasuk bekerja di Boeing, Airbus,
Embrair, CASA, Iran, dan lain sebagainya. Anggap saja para insinyur itu
sedang beasiswa atau sekolah dibiayai pihak asing. Kini dengan ilmu
tambahan yang diperoleh, Habibie mengajak mereka pulang kampung, untuk
membangun industri dirgantara Indonesia yang membanggakan.
Habibie bosan berkarya dengan mengusung bendera negara lain. Tidak
kurang 63 hak paten di bidang Aeronotika telah dibuat Habibie. Dia
berharap para ahli penerbangan Indonesia lainnya, punya semangat yang
sama, membuat pesawat dengan bendera merah-putih.
Dengan target utama membangun N2130, tidak heran Habibie ingin
melibatkan Kemenristek, BPPT, PT DI dan lainnya, bekerjasama dengan PT
RAI.
Jika melihat rekam jejak BJ Habibie di dunia penerbangan, Indonesia
memiliki harapan besar untuk kembali berkibar di bidang industri
dirgantara.
Tentu pendirian perusahaan dirgantara swasta, bukanlah hal yang
mudah. Apalagi jika PT RAI berniat menjadi manufaktur pesawat, bukan
sekedar perancangan atau biro disain. Untuk bisa masuk ke tahap
manufaktur pesawat dibutuhkan alat produksi serta modal produksi yang
besar. Kita belum tahu, sekuat apa modal PT RAI, jika benar ingin
menjadi perusahaan manufaktur pesawat di Indonesia.
Rencananya, PT RAI akan menyiapkan fasilitas baru untuk menghidupkan
pesawat N250. Engineering pesawat akan menjadi tanggung jawab PT Ilthabi
Rekatama. Sementara permodalan menjadi urusan PT Eagle Capital.
Sebenarnya masih ada skema bisnis lain yang bisa dijajaki agar PT RAI
bisa bergerak. Untuk sementara PT RAI bisa joint production dengan PT
DI dalam membangun kembali N250. Jika tahap awal PT RAI harus menanggung
semua proses produksi N250, agak riskan dari sisi permodalan. Lain
halnya bila N250 nanti telah terbang dan mendapatkan sertifikat FAA.
Blueprint dan lisensi N250 bisa dibayar ke PT DI dengan sistem
persentase penjualan. PT DI bisa mendapatkan tambahan cashflow sementara
PT RAI menghemat biaya produksi pesawat.
Sejarah industri penerbangan swasta menunjukkan, dukungan pemerintah
sangat dibutuhkan agar industri tersebut hidup dan berkembang. Hal ini
yang dilakukan AS terhadap Boeing, maupun Perancis dan negara Eropa
lainnya terhadap Airbus.
Pemerintah diharapkan ikut membantu PT RAI, yang nota bene mencoba
menghidupkan industri strategis Indonesia. Dengan nama harum Habibie di
dunia penerbangan internasional, bisa saja dia menggandeng investor
swasta asing. Namun yang kita butuhkan adalah tumbuhnya industri
penerbanagn dalam negeri yang juga diurus anak negeri. Pak Habibie….I
love you full…..!(JKGR).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar