Kamis, 31 Januari 2013

Habibe hidupkan N250 lewat PT.RAI

Mantan Presiden RI BJ Habibie berencana menghidupkan kembali pesawat N250 yang sempat dipensiunkan oleh Pemerintah RI pada tahun 1998, akibat tekanan IMF. “N250 is still the best” ujar Habibie di Jakarta, 20/8/2012. Pesawat tersebut akan terbang dalam lima tahun ke depan dengan perubahan rancangan pesawat yang serba digital. “Kami akan mendesain ulang pesawat, salah satunya mesin. Ini perlu karena ada gap teknologi kurang lebih 20 tahunan,” ujar Habibie.
N-250 adalah pesawat regional turboprop rancangan asli IPTN, Indonesia. Pesawat ini primadona IPTN dalam usaha merebut pasar di kelas 50-70 penumpang, dengan keunggulan yang dimiliki di kelasnya, saat diluncurkan tahun 1995.
Rencana menghidupkan kembali N-250 muncul setelah berdirinya PT Regio Aviasi Industri (RAI), kerjasama PT Ilthabi Rekatama milik putra sulung Habibie, Ilham Akbar Habibie, pemegang saham 51% dan PT Eagle Capital milik Erry Firmansyah pemegang saham 49%. BJ Habibie menjadi Ketua Dewan Komisaris di perusahaan tersebut.
Proyek menghidupkan kembali N250 pun dimulai. Pada tanggal 11/08/2012 dilakukan penandatanganan proyek pengembalian dan penyelesaian pesawat N250. Habibie menargetkan pesawat N250 mendapatkan sertifikat Federal Aviation Administration (FAA) dalam lima tahun ke depan.
Peluang pasar N250 di Indonesia memang masih besar. Saat ini, Wings Air terus memesan pesawat sejenis N250 yakni ATR-72. Begitu pula dengan Merpati yang memilih pesawat China MA-60. Pesawat jenis ini dibutuhkan untuk penerbangan di pelosok Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Sumatera, Nusa Tenggara. Selain Indonesia, negara kawasan Asia Tenggara juga membutuhkan pesawat jenis ini.

BJ Habibie berencana mengajak sejumlah eks karyawan IPTN yang tersebar di berbagai negara, untuk merintis industri pembuatan pesawat milik swasta itu. “Mereka kepingin pulang,” kata Presiden Republik Indonesia ketiga ini. Habibie juga ingin melibatkan Kemenristek, BPPT, PT DI dan lainnya dalam kerjasama dengan PT RAI.
Tentu Pak Habibie yang malang melintang di dunia penerbangan, memiliki rencana besar untuk pengembangan PT RAI.
Setelah merampungkan N250 dengan teknologi yang jauh lebih canggih, kemungkinan Habibie akan menghidupkan kembali proyek N2130 bersaing dengan: Boeing, Airbus, Embrair, Bombardier dan Sukhoi Super Jet. Perusahaan ini tidak mudah lagi ditekan oleh dunia Internasional, seperti halnya IPTN dulu, selaku BUMN.

Hikmah Munculnya PT RAI
Ketika proyek pesawat N250 dihentikan oleh pemerintah, para insinyur IPTN berpencar ke seluruh dunia, termasuk bekerja di Boeing, Airbus, Embrair, CASA, Iran, dan lain sebagainya. Anggap saja para insinyur itu sedang beasiswa atau sekolah dibiayai pihak asing. Kini dengan ilmu tambahan yang diperoleh, Habibie mengajak mereka pulang kampung, untuk membangun industri dirgantara Indonesia yang membanggakan.
Habibie bosan berkarya dengan mengusung bendera negara lain. Tidak kurang 63 hak paten di bidang Aeronotika telah dibuat Habibie. Dia berharap para ahli penerbangan Indonesia lainnya, punya semangat yang sama, membuat pesawat dengan bendera merah-putih.
Dengan target utama membangun N2130, tidak heran Habibie ingin melibatkan Kemenristek, BPPT, PT DI dan lainnya, bekerjasama dengan PT RAI.

Disain N2130
Jika melihat rekam jejak BJ Habibie di dunia penerbangan, Indonesia memiliki harapan besar untuk kembali berkibar di bidang industri dirgantara. Tentu pendirian perusahaan dirgantara swasta, bukanlah hal yang mudah. Apalagi jika PT RAI berniat menjadi manufaktur pesawat, bukan sekedar perancangan atau biro disain. Untuk bisa masuk ke tahap manufaktur pesawat dibutuhkan alat produksi serta modal produksi yang besar. Kita belum tahu, sekuat apa modal PT RAI, jika benar ingin menjadi perusahaan manufaktur pesawat di Indonesia.
Rencananya, PT RAI akan menyiapkan fasilitas baru untuk menghidupkan pesawat N250. Engineering pesawat akan menjadi tanggung jawab PT Ilthabi Rekatama. Sementara permodalan menjadi urusan PT Eagle Capital.
Sebenarnya masih ada skema bisnis lain yang bisa dijajaki agar PT RAI bisa bergerak. Untuk sementara PT RAI bisa joint production dengan PT DI dalam membangun kembali N250. Jika tahap awal PT RAI harus menanggung semua proses produksi N250, agak riskan dari sisi permodalan. Lain halnya bila N250 nanti telah terbang dan mendapatkan sertifikat FAA.
Blueprint dan lisensi N250 bisa dibayar ke PT DI dengan sistem persentase penjualan. PT DI bisa mendapatkan tambahan cashflow sementara PT RAI menghemat biaya produksi pesawat.

Sejarah industri penerbangan swasta menunjukkan, dukungan pemerintah sangat dibutuhkan agar industri tersebut hidup dan berkembang. Hal ini yang dilakukan AS terhadap Boeing, maupun Perancis dan negara Eropa lainnya terhadap Airbus.
Pemerintah diharapkan ikut membantu PT RAI, yang nota bene mencoba menghidupkan industri strategis Indonesia. Dengan nama harum Habibie di dunia penerbangan internasional, bisa saja dia menggandeng investor swasta asing. Namun yang kita butuhkan adalah tumbuhnya industri penerbanagn dalam negeri yang juga diurus anak negeri. Pak Habibie….I love you full…..!(JKGR).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar