Makalah ini dimulai dengan tinjauan perpustakaan tentang perkembangan praktek penambangan timah yang dilakukan oleh sejumlah badan usaha atau kelompok masyarakat di Kepulauan Bangka Belitung. Data sekunder yang didapat ini lalu dibahas berdasarkan konsep yang ada dalam mata kuliah Penegakan Hukum Kejahatan Lingkungan tentang kejahatan terhadap lingkungan dan kejahatan yang dilakukan oleh korporasi atau individu. Dalam makalah ini, secara khusus, akan dijelaskan antara lain tentang praktek penambangan timah di lingkungan laut Kepulauan Bangka Belitung dan dampak yang akan ditimbulkannya bagi masyarakat, analisa masalah berdasarkan kerangka pemikiran kejahatan lingkungan, serta saran dan pendapat dengan harapan akan memberikan pertimbangan dalam mencari solusi untuk mengatasi masalah lingkungan di Kepulauan Bangka Belitung.
Praktek penambangan timah di Kepulauan
Bangka Belitung akhir-akhir ini telah menjadi suatu aktivitas keseharian
bagi sebagian besar masyarakat di pesisir pantai. Di daerah perarian
Bangka dan Belitung, praktek menambang timah di laut ini kian marak
dilakukan secara masal. Dalam sehari puluhan ton timah disedot dari
dasar laut. Setelah pasir timah itu diambil, limbah berupa tanah dibuang
lagi ke laut. Bagi perusahaan resmi seperti PT. Timah, penambangan
dilakukan dengan menggunakan kapal besar yang berfungsi untuk menyedot
timah dari dalam tanah di bawah laut, sementara bagi
perusahaan-perusahaan swasta yang lebih kecil, penambangan dilakukan
dengan menggunakan kapal-kapal sedang. Kegiatan menambang timah di laut
ini pun mulai ramai dilakukan oleh penambang di luar PT. Timah pada
tahun 2006 sehingga mendorong masyarakat setempat, yang awalnya
berprofesi sebagai nelayan, membanting setir menjadi penambang timah.
Hal itu dilakukan dengan alasan bahwa keuntungan yang didapat lebih
besar daripada melaut untuk mencari ikan. Dalam waktu seminggu mereka
dapat menghasilkan uang dari Rp 400.000,- hingga Rp. 1.000.000,-.
Apabila mereka pergi melaut, keuntungan yang didapat belum tentu
mencapai seperempat dari keuntungan menambang timah. [Yulvianus Harjono
dan Wisnu Aji Dewabrata, Harian KOMPAS, Senin, 17 Mei 2010]. Hal ini
pula yang menyebabkan banyaknya para pendatang dari luar kepulauan untuk
melakukan aktivitas yang sama, yaitu mengeruk sumber daya timah yang
dimiliki oleh bumi laskar pelangi tersebut. Aksi ini kemudian mengundang
para penambang ilegal yang berusaha mencari kesempatan dalam kesempitan
untuk keuntangan pribadi.
Munculnya Masalah Kerusakan Laut
Pengerukan tanah yang dilakukan dalam
penambangan timah di lepas pantai kepualuan Bangka Belitung menyebabkan
rusaknya topografi pantai. Pantai yang sehat adalah pantai yang memiliki
bentuk tanah yang landai. Akan tetapi, kegiatan penambangan timah
membuat struktur tanah di lepas pantai menjadi lebih curam sehingga daya
abrasi pantai menjadi semakin kuat.
Akibat lain yang ditimbulkan dari
pengerukan tanah di dasar laut adalah berubahnya garis pantai yang
semakin mengarah ke daratan. Pengerukan tanah dan pembuangan sedimen
juga menyebabkan air laut menjadi keruh. Dengan makin maraknya aktivitas
penambangan, intensitas kekeruhan air semakin tinggi dan radiusnya ke
kawasan lain di luar kawasan penambangan semakin luas. Hal ini tidak
menutup kemungkinan bahwa kawasan terumbu karang yang bukan merupakan
wilayah penambangan mendapatkan imbas kekeruhan air. Sedimentasi tanah
yang menjadi penyebab kekeruhan air ini akan menutup dan mematikan
terumbu karang. Matinya terumbu karang akan merusak habitat kehidupan
laut yang indah; lingkungan laut akan berubah menjadi habitat alga yang
merugikan. Oleh karena itu, kerusakan laut di lepas pantai di Kepulauan
Bangka Belitung menjadi semakin parah.
Sejumlah penelitian yang telah dilakukan
meyatakan bahwa terumbu karang semakin terancam kehidupannya karena ulah
pelaku tambang. Indra Ambalika, Ketua Tim Eksplorasi Terumbu Karang
Fakultas Pertanian Perikanan dan Biologi Universitas Bangka Belitung,
megatakan bahwa sejak tahun 2006 ekosistem laut di Bangka Belitung
semakin parah daripada di daratan. Kehancuran terumbu karang yang
mencapai 40 persen di perariran Bangka disebabkan oleh PT. Timah yang
melakukan penambangan timah selama puluhan tahun sehingga habitat
ikan-ikan terganggu, bahkan para nelayan sudah sangat sulit untuk
mendapatkan ikan. PT. Timah memang telah melakukan perbaikan lingkungan
laut, tetapi sistem rehabilitasi lingkungan yang diterapkan dianggap
belum memadai. Pihak PT. Timah hanya menaruh rumpon tanpa penanganan
yang berlanjut. [Harian KOMPAS, Senin, 17 Mei 2010, hlm. 1 dan 15]
Mata pencaharian masyarakat di Kepulauan
Bangka Belitung adalah menangkap ikan, tetapi profesi nelayan ini
terganggu karena penambangan timah. Kerusakan ekosistem laut yang
terjadi menyebabkan rusaknya habitat tumbuhan dan binatang laut. Karena
semakin sulit mendapatkan ikan, keuntungan yang di dapat oleh nelayan
semakin kecil pula. Situasi seperti ini kemudian mendorong sebagian
besar nelayan untuk merubah profesi menjadi penambang timah
inkonvensional (TI) apung dengan menggunakan perahu-perahu kecil atau
bagan terapung, baik secara legal (menjalin kerja sama dengan PT. Timah
atau perusahaan swasta yang memiliki izin resmi) maupun secara ilegal
dengan menjadi cukong atau bekerja kepada cukong tambang timah ilegal. [Ibid., hlm. 15]
Kegiatan menambang secara ilegal ini juga
menelan korban. Para penambang harus menyelam hingga kedalaman empat
puluh meter untuk menancapkan pipa penyedot timah. Mereka menyelam
dengan menggunakan perlengkapan sederhana, seperti masker dengan udara
dari kompresor dan alat pengisap pasir merek Dongfeng. Tidak sedikit
dari mereka yang harus mengalami pendaharahan di telinga atau hidung
saat menyelam, dan terkadang ada juga yang kehilangan nyawa. [Yulvianus
Harjono, loc.cit., hlm. 15]
Selain menyebabkan berubahnya topografi
tanah pada pantai, kegiatan penambangan timah yang semakin marak ini
juga menimbulkan kekhawatiran akan menipisnya persediaan timah di
perairan Bangka dan Belitung. Kebijakan yang diambil oleh Pemerintah
setempat dengan membuka izin penambangan timah dalam skala kecil dan
menengah atau tambang inkonvensional memberikan efek berupa semakin
membabi butanya kegiatan penambangan oleh masyarakat setempat dan juga
oleh beberapa perusahaan peleburan timah skala menengah di Pulau Bangka.
Karena semakin banyak badan usaha yang beroperasi, menyebabkan
persaingan pertambangan timah semakin tinggi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar